Saya sedang menghitung hari-hari terakhir saya di Ghana. Di Afrika.
Ternyata berat. Bukan hanya karena saya akan meninggalkan orang-orang baik di sekitar saya. Tetapi, saya baru menyadari bahwa hidup di Afrika ternyata berat.
Saya tidak sok jago. Saya pernah menangis karena merasa capek dan marah. Tidak sering, tapi pernah beberapa kali. Tapi saya juga banyak tertawa dan tersenyum karena hal-hal baik yang terjadi pada saya selama saya ini, walaupun itu sepertinya hanya hal yang sederhana.
—*—
Minggu lalu saya mengalami puncak kelelahan secara fisik dan mental. Setelah 10 bulan 5 hari saya sangat capek, marah, dan sangat sedih. Tidak ada air mengalir selama dua minggu, mati listrik 12-18 jam setiap hari, teman serumah yang kurang mengerti arti ‘berbagi rumah’, tetangga yang selalu berisik, dan VSO Ghana yang kurang mendukung dan memberi solusi untuk masalah kesulitan air yang sudah kronis. Hingga di titik saya tidak tahan lagi karena lengan kanan strain parah (tertarik ototnya) karena harus mengangkut berember-ember air bolak-balik selama 2 bulan terakhir.
Teman serumah hampir selalu pulang ke rumah orang tuanya di Accra setiap akhir minggu. Saat itulah air biasanya mengalir selama 2 jam, dan hampir selalu sayalah yang harus mengisi semua stok penampungan air di rumah. Dua minggu lalu, hanya satu keran terendah di halaman belakang rumah yang bisa mengalirkan air. Tidak punya pilihan, saya harus mengangkut air selama 2 jam untuk mengisi beberapa barrel air yang ada di dalam rumah, bolak-balik. Setelah itu saya tidak sanggup lagi. Lengan saya menjerit. Saya berhenti dan menangis. Kesal, capek, marah, sedih. Malam itu listrik padam dan saya tidak bisa tidur karena seperti biasa, tetangga memasang generator sepanjang malam di ujung halaman depan. Dan seperti biasa pula, suaranya masuk ke jendela kamar saya. Saya stres berat. Tidak tahu berapa sering saya menangis karena kesal setelah itu.
Dua hari kemudian saya memutuskan untuk menelepon teman volunteer di Accra, Irene, dari UK, yang juga bekerja di project Cocoa Life. Kami kadang ribut dan berbeda pendapat saat bekerja tapi kami selalu saling mendukung sebagai teman. Saat saya meneleponnya, saat itu juga Irene mengerti bahwa ada sesuatu yang terjadi. Dia paham betul situasi rumah saya, betapa sulitnya saya hidup di sini tanpa air, tanpa listrik, dengan tetangga berisik dan generator tetangga yang berbunyi sepanjang malam. Irene beberapa kali menginap di rumah saya saat ada pekerjaan yang harus dilakukan di sini, dan dia mengalami sendiri ‘kegilaan’ yang harus saya hadapi setiap hari.
Irene tahu saya perlu bantuan. Saya bahkan hampir tidak bisa bicara apapun saking marah dan capeknya. Dia mengatur semuanya, bicara dengan VSO Ghana di Accra, membuat program manager kami dan program support officer mau memahami bahwa situasi saya sedang sangat sulit. Saat dua orang itu bicara dengan saya via telepon, saya hanya bisa bilang, saya ingin ke dokter, lengan saya terlalu sakit. Padahal entah apa lagi yang saya rasakan. Hari Selasa, saya dijemput oleh Frank, driver kami di Cocoa Life Project. Frank sangat baik. Dia sangat paham jika kami ada masalah. Kadang saya pikir, kenapa bukan dia yang bertanggung jawab dengan urusan supporting volunteers?
Saat Frank melihat saya, dia bertanya apa yang terjadi. Saya bilang, lengan saya sakit, saya harus ke dokter. Dia menggeleng. Frank bilang, “I know it from your face. You never look like this before. You’re not fine at all. Tell me what happened. What’s going on in here?” Frank menepuk dadanya. Dia tahu saya memendam banyak hal. Tentu saja. Saya termasuk volunteer yang paling banyak bicara dan selalu tertawa tapi saat itu saya sendiri paham bahwa wajah saya seperti papan, tanpa ekspresi dan terlihat capek.
“Please, Frank. I don’t want to cry now. I’m fine now that you’re here to pick me up. I just need to see the doctor.” Dan seluruh perjalanan menuju Accra hari itu dipenuhi dengan omong kosong dan tawa untuk hal-hal konyol yang kami dengar dari radio. Frank memang pintar membuat volunteer merasa nyaman dan aman.
Saya mengungsi di apartemen yang ditinggali oleh Irene dan Kathy. Saya kenal Kathy, sudah beberapa kali bertemu sebelumnya. Kathy juga teman baik bekas housemate saya dulu, Vincent. Kathy selalu terdengar seperti melucu dan itu cukup untuk membuat saya sering tertawa. Saya tidak peduli bahwa saya tidur di kasur lipat di ruang tengah apartemen mereka setiap malam. Saya merasa jauh lebih baik dan lebih tenang. Tentunya, saya langsung pergi ke dokter keesokan harinya. Lucunya, saat saya sampai di sana, tiba-tiba Irene terserang infeksi dada yang cukup parah hingga terbatuk-batuk dan kehilangan suaranya. Jadi, kami berdua memang harus pergi ke dokter. Saya jadi ‘suara’ Irene dan dia menjadi ‘lengan’ saya. Dan dr. Jane yang baik hati dan suka iseng, memberi kami banyak sekali tablet dan vitamin untuk diminum. Saat di apotek klinik tersebut saya bahkan tidak percaya bahwa saya mendapat berkantong-kantong obat. Well, sesungguhnya berbagai jenis vitamin, minyak ikan, dan kalsium, serta gel pereda nyeri sendi dan otot. “Oh, wow, I don’t know that I’d get these much of tablets for just a strain arm”, komentar saya kepada petugas apotek. Gadis itu cuma nyengir dan menjelaskan aturan minum tablet-tablet itu. Saat tiba di apartemen, saya dan Irene mulai sibuk saling mengigatkan obat-obat yang harus kami telan sebelum makan dan sebagainya. Two crazy girls on drugs, begitu Kathy mengatai kami.
Tinggal di Accra selama seminggu seperti sebuah perjalanan meditasi yang mahal buat saya. Senang karena saya bertemu teman-teman lain, Val misalnya, volunteer asal Filipina, yang juga beberapa kali bekerja sama dalam Cocoa Life project, tapi Val bukan termasuk team kami, dia lead researcher untuk program Valuing Volunteering Global Research. Selama seminggu hidup saya seperti di alam lain. Selain sibuk mengingat kapan waktu minum obat, saya juga tidur siang lebih panjang, makan siang di cafe yang menjual smoothies, pergi ke toko cenderamata, membeli beberapa kain untuk dibawa pulang, makan malam dengan beberapa teman baru dari kantor VSO UK yang saat itu sedang berkunjung, nonton pertandingan rugby ‘All 6 Nations’ di TV besar di salah satu club di sekitar apartemen, memasak sarapan dan makan malam yang berbeda (Irene tidak punya beras dan dia vegetarian), dan terjebak pada pesta St. Patrick’s Day akhir minggu lalu. Irene orang Irlandia, jadi dia menggelar pesta perayaan St. Patrick’s. Dan syukurnya, suaranya sudah mulai kembali terdengar pada hari itu, jadi pesta berlangsung lancar.
Soal pestanya, saya agak tersiksa sebenarnya. Tapi karena saya statusnya ‘pengungsi’ saat itu, saya harus jadi team player yang baik. Saya harus menunggu semua orang pulang, sebelum saya bisa ambruk ke kasur lipat di ruang tengah. Tentu saja, karena pestanya di ruang tengah. Jadi, setelah semua orang pulang, Kathy dan saya masih harus menyapu dan mengepel darurat sebelum saya bisa tenggelam tertidur. Dan saat itu sudah pukul 1.30 pagi. Oh, my!
Yang ajaib, selama saya berada di Accra, hampir selalu saya bisa mandi di bawah pancuran. Ya, mereka mendapat air mengalir setidaknya selama dua jam di siang hari dan hampir sepanjang malam. Alasan yang dipakai VSO Ghana bahwa krisis air adalah masalah nasional (mereka tidak bisa memberi solusi untuk krisis air yang saya alami selama 4 bulan terakhir di Asamankese) tidak terlalu terasa di apartemen Irene dan Kathy. Saya bersyukur. Setidaknya saya tidak perlu stres dengan urusan air di sana.
Satu-satunya ancaman adalah ‘gaya hidup’. Tinggal di Accra sangatlah mahal. Satu kali makan malam, setara dengan 3 hari belanja stok makanan di Asamankese. Oh, my! Saya tidak mengerti, bagaimana para volunteer di Accra bisa bertahan hanya dengan uang tunjangan yang sangat kecil itu? Bahkan jika dibandingkan dengan di Jakarta, harga-harga di sini sangat luar biasa tidak masuk akal. Saya pikir, saya menghabiskan 1/4 tunjangan saya sebulan hanya selama seminggu berada di sini. Mengerikan! Saat berada di titik itu, saya pikir saya sudah mulai sehat lahir dan batin. Well, lengan kanan saya masih belum pulih dan tidak bisa dipakai mengangkat sesuatu yang berat, tapi secara batin, saya siap bertempur lagi dengan krisis air, bicara dengan housemate, dan mendengar tetangga yang berisik di Asamankese.
Saya bersyukur punya teman-teman yang sangat baik dan mendukung saya di saat sulit. Sesungguhnya, Irene dan Kathy bahkan memaksa saya untuk tinggal di Accra sampai saat keberangkatan saya ke Indonesia bulan depan. Tapi saya menolak. Saya belum pamitan dengan teman-teman kerja dan team saya di Asamankese. Saya tidak bisa pergi begitu saja. Tapi saya tahu, saya punya ‘tempat’ untuk didatangi kapan saja di Accra saat saya ingin melarikan diri. Alasan sesungguhnya, saya kangen tempat tidur saya, saya capek juga tidur di kasur lipat di ruang tengah apartemen orang lain, hahaha. Dan saya tidak sanggup bergaya hidup expat di Accra, bisa-bisa saya harus meminta transfer uang dari rumah nantinya.
—*—
Itu cerita saya minggu lalu. Saat saya bahkan tidak bisa bercerita pada siapapun. Saya hanya meneteskan air mata karena terlalu capek dan marah. Oh, ada satu orang yang tahu, Owiredu, partner kerja saya. Dia sangat kuatir dengan keadaan saya dan selalu mengecek bahwa saya baik-baik saja. Setiap kali saya bilang, “Don’t worry, I’m alive” dia akan menjawab, “Thank, God!”, karena itu berarti saya masih bisa bergurau.
“I’m sorry that you have to get through this hard time just right at the end of your placement”, itu yang Owiredu katakan sebelum saya bilang saya harus pergi ke Accra untuk menenangkan diri. Dia dan team kerja saya di distrik West Akim inilah yang sesungguhnya selalu mendukung saya dan siap membantu kapan saja. Mereka yang akan datang ke rumah saya saat saya minta pertolongan apapun. Karena merekalah saya bisa bertahan dan senang berada di sini.
Mereka tahu bahwa kadang saya mengalami situasi yang sulit di sini dan saya bertahan, dan mereka menghargai itu. Mereka menghargai saya sebagai manusia ‘obruni’ yang berusaha membantu mereka mempunyai pengetahuan dan posisi yang lebih baik dalam program partnership ini. Saya merasa mereka menyanyangi saya. Semoga saya akan terus berada di hati mereka.
Saat saya menangis kembali, itu karena saya mengingat teman-teman sekaligus team kerja saya di Asamankese. Orang-orang yang luar biasa yang saya percaya bisa membuat apapun yang kami kerjakan sekarang menjadi lebih baik.
—*—
Tulisan di atas tercetus saat saya selesai mencuci baju dengan air yang tidak jernih dan agak berminyak. Itu air yang harus saya beli menggunakan jerry can bekas minyak sayur yang sulit dibersihkan optimal (karena sulit air di seluruh kota). Sekarang saya bisa hidup dengan itu. Air yang agak berminyak untuk mandi dan mencuci.
Dulu saya tidak mengerti saat melihat mereka yang hidup di bantaran sungai di Indonesia, yang warna airnya tidak terdefinisi. Mereka memakai air sungai keruh itu untuk apapun.
Sekarang saya mengerti. Ada saatnya hanya itulah pilihan sumber daya yang mampu kita dapatkan. Mereka yang miskin dengan akses ke air sungai kotor. Atau saya di sini sekarang, yang bisa membeli air tapi itupun airnya berminyak dan mengandung pasir. Karena memang hanya itu sumber daya yang tersedia dan terjangkau.
Saya bukan pro proletar. Saya hanya sangat bersyukur bahwa saya pernah punya kehidupan lain dengan akses ke air bersih yang sesungguhnya. Semoga saya punya kesempatan kembali ke kehidupan itu lagi dan lebih bersyukur karenanya.
Afrika membuat saya sadar bahwa kehidupan memang memiliki tingkatan. Bukan secara material semata namun secara kekayaan batin untuk menerima dan berusaha menjadi lebih baik.