Tag Archives: volunteer

3 Pacar Dalam 3 Bulan (Malawi)

“How old are you now? Are you married?”

“No. I am single”

“Why?”

“I don’t find the right person yet.”

“Do you want to get married?”

“Yes… hmm maybe… I don’t know..”

“Why not? why Maybe? OK I have a sister….” Dan percakapanpun dilanjutkan dengan rencana “perjodohan”.

Percakapan seperti ini sangat biasa terjadi, hampir dimana-mana, bahkan saat pertama kali berkenalan. Di dalam mini bus, di pasar,   di pom bensin, saat ngantri di depan kasir pasar swalayan dan lain lain.

Nggak di Indonesia, nggak di Africa  pernikahan ternyata masih dianggap suatu keharusan. Sebenarnya aku sudah kebal dengan pertanyaan beginian… jadi  moment yang begini lebih membuatku tersenyum dan tertawa daripada sebal atau tersinggung. I know there’s a “good” intention behind the questions.

“When are you going to get married, Freddy?”

“2007.”

Jawaban tenang dan seriusku membuat 3 orang teman Malawi-ku melongo dan dua detik kemudian tawapun meledak diantara kami.

Tetapi agaknya teman-teman lain yang juga masih single, tidak terlalu suka dengan jenis pertanyaan yang satu ini, terutama rekan-rekan wanita atau rekan dari negara Barat.  Aku bisa mengerti kenapa hal ini mengganggu mereka, terutama pada rekan wanita. Karena perhatian orang-orang disini terlalu berlebihan terhadap mereka. Di Malawi, dan aku pikir di hampir sebagian negara-negara di Afrika, wanita di”wajib”kan untuk menikah secepat mungkin setelah mereka mencapai masa pubernya. Aneh bagi mereka bila kita masih single di usia dewasa.

Alhasil,  saat baru pertama kali datang, aku sudah “dilamar” oleh beberapa teman. Untuk membuat orang tidak banyak bertanya, dan menghindari pelecehan seksual (terutama rekan-rekan wanita dari Asia- karena stigma pria Afrika yang menganggap wanita Asia lemah tetapi ramah), saat aku bepergian bersama rekan wanita, di pasar tradisional, pasar swalayan, di dalam mini bus atau saat pesta. Aku akan diperkenalkan sebagai pacar mereka.. dan aku setuju setuju saja, itung-itung membantu teman. Alhasil baru 3 bulan di Malawi aku sudah punya 3 “pacar”. Sedihnya tak satupun dari mereka menjadi pacar beneran!

Saat ini, sudah hampir sembilan bulan di Malawi, aku sudah punya 5 “pacar”  wanita, 2 “pacar” pria dan 1 orang “istri”!  Bagaimana bisa? Tunggu cerita lanjutannya saja.

banyak pacar

Tagged , , , ,

Sepatuku Hartaku (Malawi)

Setiap hari, pagi-pagi saat mengayuh sepeda menuju kantor, selalu aku berpapasan dengan orang-orang yang berjalan kaki,  mulai dari bapak-bapak penjaga malam yang pulang dari tugasnya sampai anak-anak yang mulai berangkat ke sekolah, atau Ibu-ibu dengan bayi di gendongan dan bawaan di kepala mereka. Kuperhatikan, sebagian besar berjalan tanpa alas kaki.

Sedih dan tak habis pikir, sebab di sepanjang jalan, sangat sering aku harus menghindar dari pecahan beling dari botol-botol (alkohol) yang dibuang orang-orang tak berotak. Beberapa kali aku harus turun dari sepeda dan menendang botol dan pecahan botol ke got. Aku yakin, botol-botol itu dibuang orang malam sebelumnya saat mereka pulang dari pusat klub malam yang tak jauh dari jalan utama menuju kantorku. Kecelakaan akibat pengemudi mabuk sangat biasa disini. Dan tampaknya orang-orang juga sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Tidak ada yang peduli.

Image

Pagi ini aku berpapasan dengan seorang pemuda, dari jauh kulihat dia berpakaian rapih dengan dasi dan setelan jas, tetapi ada yang aneh darinya. Ia berjalan tanpa alas kaki. Di tangan kanannya kulihat ia menenteng sepatu kulit yang warna putihnya mulai memudar, yang aku tebak mungkin baru dia beli dari pasar loak di kota tua Lilongwe, kemarin.

Dengan rasa ingin tahu kusapa ia dan bertanya kenapa sepatunya tidak dipakai? Dia menjawab dengan tersenyum “I don’t want it to get dirty.” Kubalas dengan anggukan kepala dan tertawa, lalu kulambaikan tangan dan kembali menganyuh sepedaku.

Dalam hati aku berpikir, dengan pakaiannya yang rapih, mungkin hari ini ia akan pergi memenuhi panggilan interview suatu pekerjaan. Imajinasiku mulai melayang-layang.. Ah semoga ia tidak menginjak pecahan beling di jalan, pikirku lagi dan semoga ketika ia sampai di depan gedung kantor tujuannya, lalu memakai sepatu putihnya, rasa percaya dirinya tumbuh. dan iapun mendapatkan pekerjaan.  Andai semua cerita hidup selalu diakhiri dengan happy ending.. oh betapa bahagianya aku. But anyway, whatever it is I wish you a Very good luck young man!

Tagged , , , ,

BAPAK, kemana perginya uang itu? (MALAWI)

“Maaf kawan, tidak banyak yang bisa kulakukan”

Aku memelas, karena memang tidak banyak yang bisa kulakukan selain hanya bisa mendengarkan kisah Mbowe. Aku ikut merasakan tulang-tulang ku menggeram marah mendapati gaji sebahagian besar staff pemerintah di Karonga belum terbayar.

Hilang, bagaimana mungkin uang sebesar 30 juta kwacha (750 juta rupiah) untuk dana bulan juni hilang dari rekening pemerintah?. Tak seorang pun tahu kemana uang itu pergi, tidak district commissioner nya, tidak juga pihak bank nya. Anehnya, perdiem untuk pertemuan-pertemuan yang dilakukan pada bulan Juni sangat tidak masuk akal. Pernah sekali aku mendengar, mereka membayar perdiem 30.000 kwacha (750.000 rupiah) per orang. Oh My God, uang sebanyak itu sangat cukup untuk memberi makan satu keluarga dalam satu bulan. Aku sangat marah mendengarkannya. Terang saja mereka tidak suka menghadiri undangan workshop yang aku lakukan karena aku hanya diberi otoritas untuk membagikan uang makan siang sebesar 1000 Kwacha (25.000 rupiah). Frustasi…ya..aku benar benar frustasi.

Dan sekarang ketika hal itu mempengaruhi teman temanku, aku semakin geram. Cleaning lady yang tadinya manis, sekarang suka teriak teriak gak jelas dalam bahasa chitumbuka, ketika aku bertanya ada apa, dia akan berkata “ I am hungry my friend, I am poor my friend, I have nothing my friend” dan sewaktu waktu dia akan datang ke meja ku minta di belikan pisang atau singkong. Mbowe, sahabatku yang tadinya ceria, kudapati termagu sendiri, kebingungan harus melakukan apa untuk memberi makan keponakan-keponakan yang di tinggal  mati bapak ibunya dua minggu lalu. Aku menawarkan diri untuk  member dia pinjaman uang, tetapi dia sungguh mengerti situasiku sebagai volunteer, dia menolaknya. Pegawai-pegawai lain sekarang suka berkumpul di ruangan ku, berbagi kebingungan dengan yang lain. Ada yang butuh untuk membayar kontrakan rumah, biaya sekolah anak, bahkan buat membeli makanan. Gila, sungguh suasana yang gila.

Internet diputus, kendaraan tidak lagi berjalan karena tidak ada dana untuk membeli bahan bakar yang mahal. Pernah sekali, seseorang meminta bantuan kepadaku untuk membeli bahan bakar dan oli mobil. Tentu saja aku menolaknya. Lebih baik aku membantu pegawai lain yang kelaparan daripada membeli bahan bakar supaya mereka bisa berkendara kesana kemari. Toh, petinggi-petinggi di kantor sudah menerima gaji mereka dari pemerintah pusat. Mengapa tidak membeli bahan bakar dengan uang sendiri? ANEH.

Entahlah, entah sampai kapan teman-temanku harus menghadapi situasi ini. Tidak adil. Memang. Aku hanya berharap Tuhan menjaga mereka dan mencukupkan apa yang ada pada mereka saat ini.

Tagged , , , ,

Indonesia Vs Malawi, perbedaan yang membuatku jatuh cinta (MALAWI)

Tidak, tentu saja aku tidak bermaksud untuk membading-bandingkan Indonesia dan Malawi. Keduanya memiliki pesona sendiri sendiri yang aku suka dan aku beruntung bisa melihatnya. Meskipun, sejujurnya hidup selama beberapa waktu di Malawi menambah kecintaanku terhadap negeri ku Indonesia.  Bersyukur terlahir di tanah beribu pulau, merindukan ratusan bahasa dan budaya yang membentuk masyarakatnya, bangga akan banyaknya orang orang pintar yang berjuang keras memperbaiki tanah itu. Untuk pertama kali didalam hidupku aku tidak berpikir akan oknum oknum yang korup, aku tidak marah atas invasi orang kaya dari negeri-negeri seberang yang mengekploitasi pulau-pulau eksotik di tanah ku. aku memaafkan pemerintahku yang egois dan memikirkan diri mereka sendiri.  Saat ini aku hanya bisa berpikir satu hal ketika aku memikirkan negeri ku “ untuk pertama kali, aku jatuh cinta”

“Beri satu alasan…” mungkin teman teman ingin tahu.

“Bukan satu, aku akan beri beberapa…” aku cukup yakin bisa memberikan alasan setelah memasuki bulan ke-4 hidup di Malawi. Well, tentunya bukan alasan berdasarkan penelitian selama bertahun tahun oleh peneliti peneliti yang menggunakan pendekatan dan alat teliti tertetu, namun alasan ketika hatiku digetarkan oleh pengalaman dan penglihatan tertentu ketika aku berinteraksi dengan masyarakat disini. Dan getaran itu di Malawi, cukup membuatku jatuh cinta terhadap negeriku.

Alasan pertama, tadinya aku berpikir Indonesia adalah negara miskin. Setidaknya itu yang selalu terdengar ditelingaku selama bertahun-tahun aku melanglang buana di area development. Namun, ketika menginjakkan kaki ku disini, aku menyadari miskin itu apa. Ketika aku berinteraksi di masyarakat korban konflik, gempa dan tsunami di Aceh, aku tidak pernah mendapati satu keluarga pun yang membuat hati ku miris karena aku yakin mereka masih sanggup mencukupi kebutuhan sandang dan pangan mereka. Setidaknya tanah masih subur, tumbuhan masih tumbuh dengan sempurna, dan kita cukup kreatif untuk mengolah sesuatu menjadi bahan makanan. Disini, masyarakat pedesaan cukup makan dengan Nsima (jagung pengganti nasi yang ditumbuk menjadi tepung)  dengan satu jenis sayur yang sering mereka sebut sayur chiness yang dimasak hanya dengan hanya dibubuhi garam. Lupakan saja tentang herbs dan spices lainnya. Itu hanya milik orang orang kaya. Mereka tidak memakan daun singkong, daun papaya, sayur nangka dan tumbuhan lain yang sering kita makan di Indonesia, simply karena mereka tidak tahu kalau tumbuhan itu bisa dimakan, bergizi tinggi lagi. Dan lagi, tanah mereka tidak sesubur tanah kita. Sewaktu waktu mereka bisa mengalami kekeringan panjang, dan sewaktu waktu juga mereka bisa terkena bencana banjir. Sungguh suatu kombinasi yang tidak biasa.

Alasan kedua, aku bersyukur orang tua kita memasak ketela sebelum kita makan. Ya, KETELA atau dikampung ku kenal sebagai singkong, dan jujur saja aku sangat menyukainya. Disini, di Malawi, cukup di kupas seperti mengupas mangga dan, “hup” lalu dimakan layaknya afternoon snack yang lezat. Beberapa teman sekantorku mengejekku “bodoh” ketika aku menolak memakan mentah singkong itu dan memandang heran betapa mereka sangat menyukainya. Namun biarlah, itu perbedaan yang menarik.

Alasan ketiga, aku bisa dibilang jarang sekali berinteraksi dengan orang dengan virus HIV. Meskipun aku tahu ada banyak kasus HIV yang terjadi khususnya dikalangan orang orang muda di tanah beribu pulau itu.  Tetapi aku masih tetap yakin kalau keadaan kita masih jauh lebih baik dari keadaan orang orang disini. Dibulan ke empatku saja, aku sudah bertemu banyak orang yang menderita karena virus ini. Menariknya, mereka terbuka akan hal itu. Dengan gampangnya mereka berkata kalau mereka penderita HIV/AIDS.  Statistik sendiri berkata 11 dari 100 adalah pembawa HIV/AIDS.

Alasan keempat, karena aku suka menari, hal pertama yang ingin aku pelajari sejak aku tiba adalah tarian Malawi. Tetapi, setelah aku melihat bagaimana mereka menari, aku tidak yakin kalau aku akan mempelajarinya. Satu satunya bagian tubuh yang bergoyang adalah pinggul. Sungguh suatu tarian yang sensual.  Bisa bisa aku terkena undang-undang pornography dan pornoaksi kalau aku menari seperti itu di Indonesia. Aku tidak mengatakan kalau tarian itu jelek, tidak sama sekali. Tarian itu menarik, dan energy bahagia yang di transfer ketika mereka semua menari sangat besar. Aku beruntung bisa  melihat tarian indah serta sakral di Indonesia dan tarian penuh energy di Malawi.

Alasan kelima, Di Malawi, sejauh mata ku memandang, aku dimanjakan oleh dataran  yang luas, pengunungan dan bukit bukit yang menonjol disana sini, kalau beruntung aku bisa melihat sekelompok Heyna yang kesasar. Sangat indah. Sayangnya di Indonesia, seringnya pandanganku terhalang oleh gedung dan pemukiman. Mungkin di beberapa daerah eksotis lainnya masih banyak pemandangan seperti ini, yang membuatku ingin berjalan lebih jauh lagi di negeriku sepulang ku nanti. Aku berjanji.

Tidak peduli apakah alasan itu cukup atau tidak, tapi sekali lagi “untuk pertama kali, aku jatuh cinta”. Namun, bukankah tidak perlu ada alasan untuk mencintai?. Aku akan pulang, tidak lama. Mungkin besok, lusa, bulan depan, atau tahun depan. Dan aku akan melihat Indonesia ku kembali.

Tagged , , ,

Malam Jumat Itu (Kenya)

Twas a Thursday night like any other pre-Friday nights here in Nairobi
Finished my usual mundane (sigh…) duties and headed out to a local infamous Nairobian joint, The Tree House

Enough is enough said I, of the 2 grilling weeks I had trying to please my panicky superiors and being drowned in their awry energies

Enough is enough thought I, of being in the similar shoes as my other volunteer comrades of being heavily misunderstood by their surroundings

This Thursday night, I thought shall be a revelation of my being here in Kenya

3 cold beers and a three-quarter empty stomach was enough to let myself lose in the rhythms and the beats of Afro-Asian-Fusion-Reggae-Retro-Pop music of the night

Yes, I was that lost. So lost in the moment and music as I closed my eyes and allowed my entire body to be swayed by the tunes of the night, not caring about the next hour, the next day nor the next night

Allow me to be entranced and enchanted by the soulful singing of the stunning Sudanese who sung in Arabic
Allow me to analyze and bop along to the critical lyrics of the Filipino reggae crooner who sang about discrimination
And how I was so enticed by the fusion guitarist from Mombasa who played side by side with Reggae Man

The people around me dancing
The people behind me chatting and smoking

And I, part of it all…

Everyone looked beautiful as they grooved, Lord only knew what actually went on in their individual heads that very Thursday night

Groovin along to the Coastal sounds of Kenya

Groovin along to the Coastal sounds of Kenya

And this is why I love this Dark Continent. A continent that’s actually so colorful where music and dancing can lift someone away to another place where they will wish they don’t ever have to return home
And boy, I don’t ever want to come home

The Sudanese

The Sudanese and The Guitarist

Then I suddenly found myself sitting in what felt like a white hearse being driven home before the stroke of midnight.

Oh No! Where was my Sudanese woman? And that fusion guitarist from Mombasa? How about the Filipino Reggae Man?
Where did everybody go?

As I sat still in that white hearse I thought, am I going to my own funeral?

Friday, behold…

Tagged , , , ,

Cerita panjang (Ghana)

Saya sedang menghitung hari-hari terakhir saya di Ghana. Di Afrika. 

Ternyata berat. Bukan hanya karena saya akan meninggalkan orang-orang baik di sekitar saya. Tetapi, saya baru menyadari bahwa hidup di Afrika ternyata berat.

Saya tidak sok jago. Saya pernah menangis karena merasa capek dan marah. Tidak sering, tapi pernah beberapa kali. Tapi saya juga banyak tertawa dan tersenyum karena hal-hal baik yang terjadi pada saya selama saya ini, walaupun itu sepertinya hanya hal yang sederhana.

—*—

Minggu lalu saya mengalami puncak kelelahan secara fisik dan mental. Setelah 10 bulan 5 hari saya sangat capek, marah, dan sangat sedih. Tidak ada air mengalir selama dua minggu, mati listrik 12-18 jam setiap hari, teman serumah yang kurang mengerti arti ‘berbagi rumah’, tetangga yang selalu berisik, dan VSO Ghana yang kurang mendukung dan memberi solusi untuk masalah kesulitan air yang sudah kronis. Hingga di titik saya tidak tahan lagi karena lengan kanan strain parah (tertarik ototnya) karena harus mengangkut berember-ember air bolak-balik selama 2 bulan terakhir.

Teman serumah hampir selalu pulang ke rumah orang tuanya di Accra setiap akhir minggu. Saat itulah air biasanya mengalir selama 2 jam, dan hampir selalu sayalah yang harus mengisi semua stok penampungan air di rumah. Dua minggu lalu, hanya satu keran terendah di halaman belakang rumah yang bisa mengalirkan air. Tidak punya pilihan, saya harus mengangkut air selama 2 jam untuk mengisi beberapa barrel air yang ada di dalam rumah, bolak-balik. Setelah itu saya tidak sanggup lagi. Lengan saya menjerit. Saya berhenti dan menangis. Kesal, capek, marah, sedih. Malam itu listrik padam dan saya tidak bisa tidur karena seperti biasa, tetangga memasang generator sepanjang malam di ujung halaman depan. Dan seperti biasa pula, suaranya masuk ke jendela kamar saya. Saya stres berat. Tidak tahu berapa sering saya menangis karena kesal setelah itu.

Dua hari kemudian saya memutuskan untuk menelepon teman volunteer di Accra, Irene, dari UK, yang juga bekerja di project Cocoa Life. Kami kadang ribut dan berbeda pendapat saat bekerja tapi kami selalu saling mendukung sebagai teman. Saat saya meneleponnya, saat itu juga Irene mengerti bahwa ada sesuatu yang terjadi. Dia paham betul situasi rumah saya, betapa sulitnya saya hidup di sini tanpa air, tanpa listrik, dengan tetangga berisik dan generator tetangga yang berbunyi sepanjang malam. Irene beberapa kali menginap di rumah saya saat ada pekerjaan yang harus dilakukan di sini, dan dia mengalami sendiri ‘kegilaan’ yang harus saya hadapi setiap hari.

Irene tahu saya perlu bantuan. Saya bahkan hampir tidak bisa bicara apapun saking marah dan capeknya. Dia mengatur semuanya, bicara dengan VSO Ghana di Accra, membuat program manager kami dan program support officer mau memahami bahwa situasi saya sedang sangat sulit. Saat dua orang itu bicara dengan saya via telepon, saya hanya bisa bilang, saya ingin ke dokter, lengan saya terlalu sakit. Padahal entah apa lagi yang saya rasakan. Hari Selasa, saya dijemput oleh Frank, driver kami di Cocoa Life Project. Frank sangat baik. Dia sangat paham jika kami ada masalah. Kadang saya pikir, kenapa bukan dia yang bertanggung jawab dengan urusan supporting volunteers? 

Saat Frank melihat saya, dia bertanya apa yang terjadi. Saya bilang, lengan saya sakit, saya harus ke dokter. Dia menggeleng. Frank bilang, “I know it from your face. You never look like this before. You’re not fine at all. Tell me what happened. What’s going on in here?” Frank menepuk dadanya. Dia tahu saya memendam banyak hal. Tentu saja. Saya termasuk volunteer yang paling banyak bicara dan selalu tertawa tapi saat itu saya sendiri paham bahwa wajah saya seperti papan, tanpa ekspresi dan terlihat capek.

“Please, Frank. I don’t want to cry now. I’m fine now that you’re here to pick me up. I just need to see the doctor.” Dan seluruh perjalanan menuju Accra hari itu dipenuhi dengan omong kosong dan tawa untuk hal-hal konyol yang kami dengar dari radio. Frank memang pintar membuat volunteer merasa nyaman dan aman.

Saya mengungsi di apartemen yang ditinggali oleh Irene dan Kathy. Saya kenal Kathy, sudah beberapa kali bertemu sebelumnya. Kathy juga teman baik bekas housemate saya dulu, Vincent. Kathy selalu terdengar seperti melucu dan itu cukup untuk membuat saya sering tertawa. Saya tidak peduli bahwa saya tidur di kasur lipat di ruang tengah apartemen mereka setiap malam. Saya merasa jauh lebih baik dan lebih tenang. Tentunya, saya langsung pergi ke dokter keesokan harinya. Lucunya, saat saya sampai di sana, tiba-tiba Irene terserang infeksi dada yang cukup parah hingga terbatuk-batuk dan kehilangan suaranya. Jadi, kami berdua memang harus pergi ke dokter. Saya jadi ‘suara’ Irene dan dia menjadi ‘lengan’ saya. Dan dr. Jane yang baik hati dan suka iseng, memberi kami banyak sekali tablet dan vitamin untuk diminum. Saat di apotek klinik tersebut saya bahkan tidak percaya bahwa saya mendapat berkantong-kantong obat. Well, sesungguhnya berbagai jenis vitamin, minyak ikan, dan kalsium, serta gel pereda nyeri sendi dan otot. “Oh, wow, I don’t know that I’d get these much of tablets for just a strain arm”, komentar saya kepada petugas apotek. Gadis itu cuma nyengir dan menjelaskan aturan minum tablet-tablet itu. Saat tiba di apartemen, saya dan Irene mulai sibuk saling mengigatkan obat-obat yang harus kami telan sebelum makan dan sebagainya. Two crazy girls on drugs, begitu Kathy mengatai kami.

Tinggal di Accra selama seminggu seperti sebuah perjalanan meditasi yang mahal buat saya. Senang karena saya bertemu teman-teman lain, Val misalnya, volunteer asal Filipina, yang juga beberapa kali bekerja sama dalam Cocoa Life project, tapi Val bukan termasuk team kami, dia lead researcher untuk program Valuing Volunteering Global Research. Selama seminggu hidup saya seperti di alam lain. Selain sibuk mengingat kapan waktu minum obat, saya juga tidur siang lebih panjang, makan siang di cafe yang menjual smoothies, pergi ke toko cenderamata, membeli beberapa kain untuk dibawa pulang, makan malam dengan beberapa teman baru dari kantor VSO UK yang saat itu sedang berkunjung, nonton pertandingan rugby ‘All 6 Nations’ di TV besar di salah satu club di sekitar apartemen, memasak sarapan dan makan malam yang berbeda (Irene tidak punya beras dan dia vegetarian), dan terjebak pada pesta St. Patrick’s Day akhir minggu lalu. Irene orang Irlandia, jadi dia menggelar pesta perayaan St. Patrick’s. Dan syukurnya, suaranya sudah mulai kembali terdengar pada hari itu, jadi pesta berlangsung lancar.

Soal pestanya, saya agak tersiksa sebenarnya. Tapi karena saya statusnya ‘pengungsi’ saat itu, saya harus jadi team player yang baik. Saya harus menunggu semua orang pulang, sebelum saya bisa ambruk ke kasur lipat di ruang tengah. Tentu saja, karena pestanya di ruang tengah. Jadi, setelah semua orang pulang, Kathy dan saya masih harus menyapu dan mengepel darurat sebelum saya bisa tenggelam tertidur. Dan saat itu sudah pukul 1.30 pagi. Oh, my!

Yang ajaib, selama saya berada di Accra, hampir selalu saya bisa mandi di bawah pancuran. Ya, mereka mendapat air mengalir setidaknya selama dua jam di siang hari dan hampir sepanjang malam. Alasan yang dipakai VSO Ghana bahwa krisis air adalah masalah nasional (mereka tidak bisa memberi solusi untuk krisis air yang saya alami selama 4 bulan terakhir di Asamankese) tidak terlalu terasa di apartemen Irene dan Kathy. Saya bersyukur. Setidaknya saya tidak perlu stres dengan urusan air di sana.

Satu-satunya ancaman adalah ‘gaya hidup’. Tinggal di Accra sangatlah mahal. Satu kali makan malam, setara dengan 3 hari belanja stok makanan di Asamankese. Oh, my! Saya tidak mengerti, bagaimana para volunteer di Accra bisa bertahan hanya dengan uang tunjangan yang sangat kecil itu? Bahkan jika dibandingkan dengan di Jakarta, harga-harga di sini sangat luar biasa tidak masuk akal. Saya pikir, saya menghabiskan 1/4 tunjangan saya sebulan hanya selama seminggu berada di sini. Mengerikan! Saat berada di titik itu, saya pikir saya sudah mulai sehat lahir dan batin. Well, lengan kanan saya masih belum pulih dan tidak bisa dipakai mengangkat sesuatu yang berat, tapi secara batin, saya siap bertempur lagi dengan krisis air, bicara dengan housemate, dan mendengar tetangga yang berisik di Asamankese.

Saya bersyukur punya teman-teman yang sangat baik dan mendukung saya di saat sulit. Sesungguhnya, Irene dan Kathy bahkan memaksa saya untuk tinggal di Accra sampai saat keberangkatan saya ke Indonesia bulan depan. Tapi saya menolak. Saya belum pamitan dengan teman-teman kerja dan team saya di Asamankese. Saya tidak bisa pergi begitu saja. Tapi saya tahu, saya punya ‘tempat’ untuk didatangi kapan saja di Accra saat saya ingin melarikan diri. Alasan sesungguhnya, saya kangen tempat tidur saya, saya capek juga tidur di kasur lipat di ruang tengah apartemen orang lain, hahaha. Dan saya tidak sanggup bergaya hidup expat di Accra, bisa-bisa saya harus meminta transfer uang dari rumah nantinya.

—*—

Itu cerita saya minggu lalu. Saat saya bahkan tidak bisa bercerita pada siapapun. Saya hanya meneteskan air mata karena terlalu capek dan marah. Oh, ada satu orang yang tahu, Owiredu, partner kerja saya. Dia sangat kuatir dengan keadaan saya dan selalu mengecek bahwa saya baik-baik saja. Setiap kali saya bilang, “Don’t worry, I’m alive” dia akan menjawab, “Thank, God!”, karena itu berarti saya masih bisa bergurau.

“I’m sorry that you have to get through this hard time just right at the end of your placement”, itu yang Owiredu katakan sebelum saya bilang saya harus pergi ke Accra untuk menenangkan diri. Dia dan team kerja saya di distrik West Akim inilah yang sesungguhnya selalu mendukung saya dan siap membantu kapan saja. Mereka yang akan datang ke rumah saya saat saya minta pertolongan apapun. Karena merekalah saya bisa bertahan dan senang berada di sini.

Mereka tahu bahwa kadang saya mengalami situasi yang sulit di sini dan saya bertahan, dan mereka menghargai itu. Mereka menghargai saya sebagai manusia ‘obruni’ yang berusaha membantu mereka mempunyai pengetahuan dan posisi yang lebih baik dalam program partnership ini. Saya merasa mereka menyanyangi saya. Semoga saya akan terus berada di hati mereka.

Saat saya menangis kembali, itu karena saya mengingat teman-teman sekaligus team kerja saya di Asamankese. Orang-orang yang luar biasa yang saya percaya bisa membuat apapun yang kami kerjakan sekarang menjadi lebih baik.

—*—

Tulisan di atas tercetus saat saya selesai mencuci baju dengan air yang tidak jernih dan agak berminyak. Itu air yang harus saya beli menggunakan jerry can bekas minyak sayur yang sulit dibersihkan optimal (karena sulit air di seluruh kota). Sekarang saya bisa hidup dengan itu. Air yang agak berminyak untuk mandi dan mencuci.

Dulu saya tidak mengerti saat melihat mereka yang hidup di bantaran sungai di Indonesia, yang warna airnya tidak terdefinisi. Mereka memakai air sungai keruh itu untuk apapun.

Sekarang saya mengerti. Ada saatnya hanya itulah pilihan sumber daya yang mampu kita dapatkan. Mereka yang miskin dengan akses ke air sungai kotor. Atau saya di sini sekarang, yang bisa membeli air tapi itupun airnya berminyak dan mengandung pasir. Karena memang hanya itu sumber daya yang tersedia dan terjangkau.

Saya bukan pro proletar. Saya hanya sangat bersyukur bahwa saya pernah punya kehidupan lain dengan akses ke air bersih yang sesungguhnya. Semoga saya punya kesempatan kembali ke kehidupan itu lagi dan lebih bersyukur karenanya.

Afrika membuat saya sadar bahwa kehidupan memang memiliki tingkatan. Bukan secara material semata namun secara kekayaan batin untuk menerima dan berusaha menjadi lebih baik.

Tagged , , , , , , ,

Technology vs Development (Malawi)

Sudah hampir 2 bulan di Malawi,  saya mulai terbiasa dengan semua rutin disini; mulai dari berjalan kaki  2km setiap hari menuju halte mini van sampai dengan harus mengangkat tangan saat menyapa orang lain, karena menundukkan kepala dan tersenyum saja masih dianggap kurang sopan.

Di sisi pekerjaan juga mulai berjalan dengan lancar. Jujur pada awalnya saya nggak ‘ngeh’ dengan judul pekerjaannya “Technology for Development Adviser”, terdengar keren, mungkin karena ada kata” Technology” dan “Development” yang digabungkan jadi satu, tapi pada saat membaca dokumen penempatan kemarin, saya benar-benar nggak jelas.  Baru setelah sampai disini, saya baru mengerti maksud dan tujuannya. Singkatnya, pekerjaan saya adalah membawa teknologi menjadi program mainstreaming di program-program pembangunan, terutama di program-program kerja VSO Malawi… membawa sentuhan-sentuhan teknologi pada setiap program kerja VSO dan mengajak organisasi partner dan juga masyarakat Malawi untuk mengijinkan teknologi membantu kehidupan mereka. Ceilee..

Hampir 2 bulan ini juga saya melakukan riset tentang kemajuan teknologi di Malawi dan jenis teknologi tepat guna apa yang cocok untuk dunia development di Malawi. Pada saat riset, saya menemukan informasi tentang satu NGO dari Inggris yang membagi-bagikan komputer tablet dengan program-program edukasi layar sentuh ke sekolah-sekolah dasar di Malawi. Mereka sudah membagi-bagikan tablet di 50 sekolah (1 tablet digunakan untuk 6 anak) dan akan melanjutkan proyeknya ke 50 sekolah lainnya. Sayapun berhasil mendapatkan kontak NGO ini dan berkomunikasi dengan direktur operasinya. Mengagetkan! Mereka bahkan tidak punya kantor cabang atau bahkan contact person di Malawi, semuanya dilakukan dan dimonitor dari London, Inggris. Lalu saya bertanya-tanya.. Apa mereka tidak berpikir dan curiga bila komputer-komputer tablet itu akan berakhir di pasar gelap elektronik di Malawi? –Saya mendapat kabar dari seorang rekan bahwa di pasar gelap elektronik saat ini banyak beredar komputer-komputer tablet murah- Tetapi di luar itu, saya masih memiliki beberapa pertanyaan-pertanyaan lain, seperti : Apakah memang bijaksana mengajarkan siswa SD di Malawi cara menggunakan komputer tablet, sementara mereka ke sekolah saja tidak menggunakan sepatu dan hidup tanpa listrik di rumah mereka, belum lagi banyak di antara mereka yang belum bisa membaca dan menulis.  Apakah benar teknologi komputer tablet tepat guna dan tepat sasaran untuk diterapkan di Malawi? Bagaimana kalau nanti mereka memaksa orang tua mereka untuk membelikan komputer tablet? Bagaimana kalau anak-anak ini nantinya hanya tahu cara sentuh sana sentuh sini tanpa tahu bagaimana cara menulis dan menggunakan keyboard di komputer normal? Kadang-kadang teknologi bisa jadi bumerang. Entahlah. Mungkin ini hanya kekawatiran saya yang berlebihan.

Anak-anak di sekitar rumah saya, sedang bermain komputer tablet milik saya.

Anak-anak di sekitar rumah sedang mencoba komputer tablet.

Saya juga menemukan banyak organisasi international yang membagi-bagikan komputer bekas ke sekolah-sekolah atau organisasi-organisasi kemanusiaan disini, kabarnya komputer-komputer tua itu hanya jadi barang rongsokan. Ada satu institusi pendidikan di Lilongwe yang memiliki satu ruangan besar dengan puluhan komputer di dalamnya. Ruang itu berdebu tebal penuh dengan sarang laba-laba… tidak mampu membayar listrik, begitu informasi sang guru, ketika ditanya kenapa fasilitas kelas komputer ini tidak digunakan. Ironis.

Ada fenomena saat ini, negara-negara maju “membuang” teknologi lama (e-waste) mereka, terutama hardware  ke Afrika. Ini adalah cara mudah memperbaharui teknologi dengan tidak mengkotori lingkungan mereka dengan barang rongsokan. Jadi saat ini banyak komputer2 tua, TV, radio dll di”buang” ke Afrika. Karena memang umur-nya yang sudah tua, dan spare-part yang tidak tersedia, maka barang-barang inipun cepat rusak dan akhirnya benar-benar menjadi barang rongsokan dan menumpuk di Afrika. Development oh development…

Kata-kata Technology dan Development bagi saya saat ini  terasa seperti pernikahan paksa ala Siti Nurbaya….. dan malangnya, saya harus menjadi penghulunya.

Tagged , , , , , ,

Maaf Pak Polisi, saya nggak jadi ketemu Shahrukh Khan…(Ghana)

Saat membaca pemberitaan di media online Indonesia minggu lalu, tentang Shahrukh Khan yang manggung di Sentul Bogor, tiba-tiba saya teringat pengalaman pertama saat mengurus SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) di Polsek Kota Bogor Barat. Ada apa gerangan?

Asal muasalnya adalah permintaan VSO Bahaginan (recruitment base) agar saya segera mengirimkan Police Clearance. Saya ingat betul waktu itu baru dua minggu setelah saya dinyatakan ‘Selected’ sebagai volunteer. Komunikasi via email dengan VSO Bahaginan baru mulai berjalan dan VPA (Volunteer & Program Adviser) saya mengatakan, “Glory, sepertinya saya punya penempatan yang mungkin sesuai, di India!” Itu baru ‘omongan’ saja, belum ada Placement Outline dan sebagainya. Tapi berhubung mereka sudah minta semua dokumen segera dilengkapi, ya saya manut saja. Mulai bergerak.

Untungnya kakak ipar adalah ketua RT, jadi urusan surat pengantar untuk pembuatan SKCK di level RT/RW lancar sekali, hehehehe. Dan kakakku dengan baik hatinya juga membawanya ke kelurahan untuk mendapat pengantar ke Kecamatan Kota Bogor Barat. Urusan dengan kecamatan sih, saya sudah cukup handal (halah!) jadi sudah tidak kaget dengan proses yang agak-agak ajaib. *uhuk* 

Karena berangkat pagi-pagi, surat pengantar dari kecamatan pun selesai sekitar tengah hari. Saya langsung melanjutkan perjalanan ke kantor Polsek Kota Bogor Barat. Syukurnya para polisi di sana menyambut ramah, bahkan sempat mengira saya anak kecil yang nyasar… aduuh. Saya sampaikan bahwa saya perlu membuat SKCK untuk berangkat menjadi volunteer internasional. Langsung dengan antusiasme tinggi, saya diantar ke bangunan kecil yang agak terpisah dari kantor utama. Sampai di sana saya menyerahkan dokumen-dokumen pengantar dan diminta menunggu, karena ada sekitar 3 orang yang sedang diproses di dalam ruangan. Karena ruangannya kecil, saya duduk di luar, di salah satu bangku yang mengelilingi sebuah meja panjang. Di situ duduk sekitar 4 orang polisi -termasuk seorang polwan.

Mulailah obrolan dengan para polisi yang duduk di situ. Mereka bertanya tentang tujuan saya membuat SKCK dan mulai sangat tertarik saat saya katakan saya akan menjadi volunteer internasional dengan VSO. Lalu, ‘kebingungan’ mulai muncul saat saya ditanya, ‘Jadi, mau berangkat ke mana?’ Saya jawab belum pasti, karena proses penempatannya baru dimulai. Masih dicari mana yang cocok dengan keahlian saya. Lalu mereka menimpali, ‘Wah tapi, kalau untuk SKCK luar negeri harus ada negaranya nanti. Kita cuma kasih pengantar dari sini, nggak masalah. Tapi nanti di Polresta harus sudah dicantumkan.’

Saya agak kaget, tapi juga berterima kasih atas informasinya. Saya katakan, memang negara tujuan penempatannya belum pasti, tapi saat ini ada kemungkinan pergi ke India. Mereka makin penasaran dan obrolan berkembang, sampai pada satu titik para polisi itu jadi lebih bersemangat daripada saya sendiri. Mereka mulai asyik dengan ide-ide gila bahwa nanti saya bisa bertemu bintang-bintang Bollywood, bahkan syukur-syukur diajak main film India, ketemu Sharukh Khan dan Kajol. Saya sampai terbahak-bahak. Lalu kelompok ‘diskusi’ kami jadi semakin besar karena beberapa polisi lain mulai bergabung, terakhir ada 6 orang di meja itu hanya gara-gara satu pak polisi bilang, ‘Hey, sini, adek ini mau pergi ke India lho, jadi volunteer!’ Hahahaha. Tiba-tiba entah dari mana, muncul juga sekantong gorengan menemani obrolan di atas meja. Saya jadi ‘diwawancara’ soal menjadi volunteer, pergi ke India, dan obrolan lain-lain. Jadi meriah begitu deh, suasananya.

Mungkin setelah 30 menit, nama saya dipanggil dari dalam ruangan. Pengantar SKCK saya sudah selesai dan saya harus membawanya ke Polres Bogor Kota untuk proses selanjutnya. Saya tanya pada Ibu yang bertugas di depan komputer itu, ‘Ada biaya administrasinya, bu?’ Ibu itu malu-malu tersenyum lalu menunjuk pada pak polisi yang duduk di depan saya di meja luar, ‘Tanya Pak Kepala, ya.‘ Saya berterima kasih dan menghampiri pak polisi itu. Dengan cuek dan tanpa basa-basi, saya bertanya, ‘Pak, ini sudah jadi. Ada biaya administrasinya?’ dan pak polisi kepala itu menjawab, ‘Ah, tidak ada biaya. Kita senang adek mau jadi volunteer ke India. Biayanya buat bekal saja. Semoga sukses di sana, bisa ke Bollywood juga. Oh iya, salam untuk Shahrukh Khan ya!’ Saya nyengir. ‘Insha Allah, disampaikan pak, kalau ketemu tapi ya. Nggak janji lho…’ dan semua polisi di meja itu tertawa.

Saya bersalaman dengan semua polisi yang duduk mengelilingi meja itu sambil mengucapkan terima kasih. Rasanya terharu, entah kenapa. Mereka semua mendoakan semoga saya berhasil. Saya beranjak pergi sambil tersenyum dan melambaikan tangan kepada mereka. Masih ada satu yang nyeletuk, ‘Jangan lupa, salam buat Shahrukh Khan, ya!’

Minggu lalu, justru Shahrukh Khan yang datang ke Bogor. Saya? Mungkin tidak akan pernah bertemu dengannya. Hahahaha. Tetapi doa-doa pak polisi didengar Tuhan, lho. Buktinya saya ada di Ghana menjadi volunteer. Iya, lebih jauh sih, dari India, karena placement offer di India ternyata tidak pernah datang. Malah dapat tawaran ke Nepal sebelum akhirnya memutuskan lebih cocok dengan Ghana.

Terima kasih doanya, ya, Pak Polisi. Maaf, salamnya nggak bisa disampaikan! 🙂

Tagged , , , , , ,

Anggota Terbaru ‘Kura-Kura Ninja’ (Ghana)

Buat yang satu generasi dengan saya, pasti pernah dengar (atau bahkan sering nonton) film kartun ‘Kura-Kura Ninja’ alias ‘Teenage Mutant Ninja Turtles’. Bahkan, ada film versi layar lebarnya juga yang diperankan aktor-aktor sungguhan.

Hapal nama mereka? Saya hapal. Bahkan waktu SMP saya nge-fans banget sama Michelangelo 🙂 Mereka adalah Michelangelo (yang paling muda), Leonardo (pemimpinnya), Donatello, dan Raphael. Saya nggak pernah ngerti kenapa Raphael namanya lain sendiri, nggak pakai akhiran ‘o’ walaupun masih terdengar Italianya.

Anyway, minggu lalu saya mengangkat diri saya sendiri untuk jadi anggota ke-5 tim ‘Kura-Kura Ninja’. Alasannya? Lihat foto berikut:

Dan nama yang saya pilih adalah ‘Garelo’ alias ‘gila’ dalam Bahasa  Sunda. Hahaha.

Foto ini saya ambil di dalam trotro, angkutan antar kota berpenumpang 15-18 orang. Minggu lalu, saya harus pergi ke Koforidua, ibukota Eastern Region, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Dodowa di wilayah Greater Accra untuk memfasilitasi acara Review and Planning Meeting dengan seluruh distrik dan regional partners.

Dari Asamankese ke Koforidua, biasa ditempuh selama 2 jam perjalanan, melalui Suhum, salah satu distrik wilayah kerja CCP juga. Biayanya 3 GHC atau sekitar 15 ribu rupiah. Dari Asamankese ke Suhum bisa ditempuh dalam 1 jam perjalanan tapi jalanannya sangat buruk dan berdebu. Rasanya seperti off-road selama 1 jam. Tidak masalah kalau pakai jeep atau mobil bergardan ganda. Tapi kalau ditempuh dengan trotro…aduuuuh. Badan rontok! Semua orang di Ghana (iya, ini hiperbola deh!) tahu kalau jalanan dari Asamankese ke Suhum itu jeleknya luar biasa. Sudah sangat terkenal! Ha! Lebih lagi, rata-rata kondisi trotro itu tidak mulus. Lebih seperti ‘angkot kompor’ kalau orang Bogor bilang, alias bobrok dan sudah tua. Jarang yang masih agak baru dan ber-AC. Dan yang ber-AC hanya untuk jurusan tertentu. Jadi, setiap kali naik trotro, selalu berdoa. Karena hanya si trotro dan Tuhan yang tahu, apa yang bisa membuat mobil itu tetap utuh ‘one piece’ dan tidak tercerai berai walaupun terguncang-guncang melalui medan off-road.

Sebenarnya, nggak fair juga kalau bilang jalanannya jelek begitu saja. Karena yang sebenarnya terjadi adalah pihak pemerintah sedang memperbaiki jalan tersebut. Tapi sudah 5 bulan saya di sini, belum selesai-selesai juga *sighs*

Akibatnya, jalanan secara umum terasa ‘grenjel-grenjel’ karena hanya ditaburi gravel setelah di-grader. Beberapa bagian jalan baru diperluas dan dibuka bahu jalan kanan-kirinya. Beberapa bagian lagi sedang dipasang box culvert, jadi hanya bisa dilalui satu sisi saja, dan harus antri/gantian. Beberapa bagian lagi, memang masih jelek dan penuh pot holes.

Sakit kepala deh, kalau membayangkan harus ke Koforidua, terutama karena ini jalan satu-satunya menuju ke sana. Makanya saya selalu harus siap mental, biar nggak sakit kepala. Tapi, yang tidak bisa dihindari adalah sakit mata (mata gatal) atau sesak napas. Karena jalanan sangat berdebu, trotro tidak ber-AC, sehingga semua jendela harus dibuka supaya penumpangnya tidak mati lemas seperti dalam sauna. Repot ya? Ya begitulah… 🙂

Suasana di dalam trotro...

Faktanya, saya hampir tidak pernah punya pilihan atau kesempatan untuk duduk dekat jendela (jadi bisa menutup jendela semaunya) dan harus tabah menghadapi satu jam dalam trotro penuh debu. Serius lho, debunya. Semua jadi seperti berbedak kuning kemerahan. Tas, baju, kacamata, kerudung, semua jadi kuning berdebu! Sebagai tindakan pencegahan supaya tidak sesak napas atau asma kumat (amit-amit deh!) saya selalu ‘menggila’ dengan melilitkan kerudung ke hidung. Untungnya, ini di Ghana. Kalau di Indonesia, sudah disangka teroris hehehehe. Kadang saya tidak sendirian, ada penumpang lain yang melilitkan saputangan di wajahnya. Tapi seringnya, ya…saya aneh sendiri gitu deh 🙂

Minggu lalu, waktu menyamar sebagai anggota Kura-Kura Ninja, perempuan di sebelah kiri saya sempat kaget waktu dia terbangun dari tidurnya dan melihat dandanan saya (hebat ya, walaupun off-road, kebanyakan penumpang selalu bisa tidur!) tapi setelah ‘sadar’ dia tidur lagi. Hahaha. Untungnya nggak pingsan :p

Teman-teman di kantor MoFA sudah hapal kejadian setiap kali saya pulang dari perjalanan ke Koforidua via Suhum. Selalu sakit! Iya, entah kenapa walau tidak serius, tapi selalu ada satu hari ‘tewas’. Jalanan yang satu itu memang ‘mematikan’ hahaha.

Sambil menulis ini, saya senyum-senyum sendiri. Lagi-lagi saya ‘disentil’ karena kurang bersyukur. Dulu, pergi pulang kantor harus ‘berjuang’ naik bis AgraMas AC dari Bogor ke Cilandak atau Lebak Bulus. Tarifnya cuma 11 ribu rupiah. Waktu tempuhnya sama sekitar 2 jam. Jalanannya tol, muluuuuuuss. Tetap saja hela napas, jengkel sama orang di sebelah karena makan tempat, atau karena ACnya nggak kerasa. Padahal, kalau bisnya nggak penuh, bisa tidur pulas, kalau panas ada gorden yang bisa menutupi kaca jendela, kalau nggak macet cuma 45 menit saja! Dibanding sekarang, naik trotro? Hahahaha, jauuuuh.

Saya bersyukur. Sekarang bisa menertawakan diri saya sendiri. Bahwa dulu itu adalah ‘kenikmatan’ tersendiri. Tapi saya baru sadarnya sekarang, setelah jadi anggota ke-5 Kura-Kura Ninja! 🙂

Tagged , , , , , , , ,

I’m Lucky (Tajikistan)

Ok, sudah lama saya ngak nulis di blog ini, dan lebih banyak nulis di FaceBook Note saya, tapi ada bbrp tulisan yang saya rasa cukup layak masuk blog ini, karena masih menyangkut pengalaman saya di Tajikistan. To make long story short, saya kecelakaan di Tajikistan, salah saya sendiri juga, naik gunung ngak hati hati :). saya terpeleset dan tulang belakang saya mesti dioperasi. Saya dievakuasi di Istanbul dan dipasang 8 sekrup titanium, dan sekarang masih pemulihan dengan physiotherapy agar kaki saya kembali normal. Ok Ini cerita saya.. 🙂

Satu minggu sebelum saya jatuh di tebing, saya mendapat kabar bahwa Saokat, salah satu staff NGO kami jatuh dari atap rumah dan luka luka, kabarnya tangan dan kakinya patah. Saat itu kita semua hanya bisa bersimpati dan memberi sedikit bantuan dana. Saokat pergi ke rumah sakit local, dan akhirnya dirawat di rumah. Saya tidak tahu apakah karena ia baik baik saja atau ia tidak yakin dengan rumah sakit di Khorog. Banyak penduduk local yang tidak percaya dengan dokter disana . “Dokter dokter terbaik sudah ‘lari’ ke Afganistan, karena mereka dapat uang lebih banyak disana.” Kata Yorali, direktur NGO saya. Biaya rumah sakit tidak jadi masalah disini, karena rumah sakit Khorog memberi layanan gratis kepada penduduknya. Tapi apa artinya gratis, kalo pelayanannya buruk?

Saya juga pergi ke rumah sakit ini, satu hari setelah saya jatuh, saat it saya hanya membayar biaya rontsen sebesar 20 somoni, atau sekitar 40 ribu rupiah untuk 2 x rontsen. Murah meriah kan? Walau hasil rontsennya ditertawakan oleh dokter di rumah sakit Istanbul, karena kwalitas nya yang buruk.

Saya cukup beruntung, bisa ditangani lebih lanjut secara professional, Saokat hanya bisa istirahat di rumah, dan berharap Tuhan menyembuhkannya. Mungkin dia akan percaya dengan dokter di Khorog, bahwa ia tidak apa apa,dam tidak ada yang membahayakan. Ketika saya ke rumah sakit Khorog, dokter juga berkata saya tidak apa apa, tidak berbahaya, hanya perlu ke Dushanbe untuk memakai korset dari besi dan saya akan baik baik saja. Kenyataannya, saya tidak baik baik saja, dokter VSO di Dushanbe dan professor di Istanbul menyatakan kondisi saya tidak parah, tapi mengkhawatirkan, karena bila dibiarkan, tulang spine saya akan terus bergeser, dan bisa rubuh mengenai syaraf dan saya akan lumpuh. Analisa yang berbeda dengan dokter di Khorog.

Saya berharap Saokat sungguh baik baik saja, dan bisa sembuh total, dan tidak ada masalah di kemudian hari. Saya teringat dengan Wayan Edi, anak asuh saya di Denpasar, yang pernah patah tulang kaki karena main layangan, namun karena tidak ada biaya dan anggapan ‘nanti juga sembuh sendiri’ membuat ia menghadapai masalah lebih serius. Ia memang sembuh sendiri. Tuhan memang luar biasa menciptakan tubuh kita yang bisa menyembuhkan diri sendiri. Edi merasa kaki nya sudah sembuh, tapi kenyataannya tidak. Tulang Edi ‘menyembuhkan’ dengan cara yang salah, ia sembuh tapi juga itu menyebabkan kanker tulang. ‘Sembuh sendiri’ memang salah satu penyebab kanker karena tubuh membaca kode yang salah.

Edi akhirnya harus diamputasi. Hari yang berat baginya, tapi ia tetap semangat. Setelah diamputasi, ia bergabung dengan Yakkum Bali sebagai salah satu peserta program “Pelatihan singkat menuju dunia kerja bagi diffable” dimana saya menjadi salah satu relawannya. Saya masih ingat betul kata kata Edi ketika pertama kali bertemu, “Dulu saya normal,pak. Sekarang saya cacat”. Kata kata yang sering saya dengar dari teman teman penyandang keterbatasan. Selain terlahir dengan keterbatasan, banyak juga yang menjadi ‘special’ karena kecelakaan lalu lintas, korban radiologi dan bencana alam. Indonesia dengan kondisi alam yang rentan bencana, membuat banyak diffable baru setiap tahunnya. Sayangnya, perhatian pada hak hak diffable masih sangat minim di Indonesia.
Kisah Edi tidak berakhir disana, ternyata kankernya menyebar ke paru paru, dan sudah mencapai stadium akhir, ia tidak bisa berbuat apa apa, kecuali berserah. Edi akhirnya dipanggil Tuhan satu minggu setelah saya mempertemukan Edi dengan band favoritnya “Superman is Dead” di rumah sakit. Terima kasih Jerink dkk ! Satu hal yang membuat ia merasa ‘sembuh’ karena saking bahagianya.

***1***
“Untung ngak kenapa kenapa”
“Untung Cuma kena punggung aja, kalo kena kepala , udah gegar otak!”

Seperti layaknya orang Indonesia kebanyakan, saya masih merasa ‘beruntung’, walau mendapat kecelakaan ini. Untung saat saya jatuh dari tebing, saya sedang memakai contact lens, kalau saya memakai kaca mata, mungkin kacamata saya pecah dan melukai mata saya saat jatuh dan tanpa penglihatan yg jelas, akan lebih sulit saya mencari jalan pulang.

Untung saya membawa obat darah tinggi saya (saat itu entah kenapa saya membawa peralatan P3K) di tas saya, sehingga 1 jam setelah jatuh saya masih bisa minum obat darah tinggi dan aspririn dengan air sungai. Ketika saya menceritakan ini ke dokter VSO, ia berkata “Sekarang saya tambah khawatir dengan air sungai yang kamu minum itu !”. Tapi mungkin karena air sungai yang segar dan obat itu saya masih bisa berjalan kaki 3 jam setelah jatuh dengan kondisi punggung seperti itu.

Untung saya jatuh antara jam 11-12 siang, sehingga saya tidak kemalaman di jalan, dan saya punya semangat lebih untuk mencari jalan pulang. “Masih ada waktu 6 jam sampai matahari terbenam”, kata pikiran saya ketika mencari jalan pulang. Akan sangat mengerikan berada dalam kegelapan di gunung yang tidak saya kenal lokasinya.

Untung saya bekerja sebagai relawan VSO yang mendaftarkan saya pada asuransi yang baik. Saat ini semua biaya evakuasi dan rumah sakit discover pihak asuransi, sehingga pikiran saya tidak khawatir soal itu. Saya juga mendapat fasilitas nomor satu, rumah sakit terbaik, kamar terbaik, penerbangan terbaik, saya merasa dimanjakan. Bahkan seorang Medical Escort didatangkan dari Moscow hanya untuk mengantar saya ke Istanbul dari Dushanbe.

Sebagai relawan VSO, terkadang kita banyak menghadapi tantangan dan kondisi yang serba terbatas di penempatan kita, tempat tinggal yang sederhana, makanan yang terbatas, dsb, tapi saat kita sedang dalam kesulitan seperti yang alami saat ini, mereka ada di garda terdepan untuk menjaga saya dengan baik.

Saya beruntung menjadi relawan VSO !

***1***

Sudah 22 hari saya di rumah sakit, jauh lebih lama dari luar perkiraan saya dan dokter. Kondisi fisik saya sudah bugar, hanya saja saya memang masih belum bisa banyak mengerakan kaki saya. Jangankan belajar berjalan, belajar duduk saja masih sulit. Semua memang sebuah proses. Sekecil apapun ‘progress’ yang saya dapat, saya syukuri. A small progress is still A progress ! Walau sering kali kita tidak menghargai itu, dan mengharap semuanya serba cepat. Mungkin hidup saya sebelumnya bergerak terlalu cepat, kini saatnya saya ‘take it slow’ dan merasakan bagian bagian terpenting dalam hidup, yang mungkin tadinya tidak berarti, karena saya abaikan keberadaannya.

Tadi malam, saya hampir berteriak kegirangan ketika saya bisa mengerakan kaki saya dalam posisi yang baru. Saya sudah bisa menendang sekitar 30 cm dengan posisi badan tidur menyamping. Lutut saya menggerakkan tungkai bawah saya. Walaupun itu hanya ‘tendangan kecil’ , tapi saya bisa mensyukuri hal itu. Pagi ini dengan bangga saya memamerkan itu ke dokter dan fisio terapis saya, dan mereka juga merasa senang.

Terkadang memang begitu mudah kita melupakan hal hal kecil dalam hidup. Begitu mudah kita untuk lupa bersyukur untuk hal hal kecil. Kita terlalu bangga dengan pencapaian pencapaian terbesar dan terbaik kita, dan melupakan proses kecil yang membuat pencapaian itu begitu berarti.

Kini setelah lebih dari 2 minggu hanya berada di tempat tidur, saya merindukan banyak hal sederhana dalam hidup. Hal hal kecil yang dulu saya acuhkan. Saya merindukan untuk bisa ‘nongkrong’ berjam jam di toilet lagi, saya merindukan bisa membersihkan badan saya sendiri tanpa bantuan perawat, merindukan tidur nyenyak tanpa perlu obat penahan sakit dan saya merindukan bisa berjalan lagi.

Saya yakin, suatu hari saya bukan hanya bisa berjalan lagi, tapi juga berlari kencang. Dan saya berjanji akan menghargai setiap ‘tendangan’ yang saya langkahkan.

Jeff – Istanbul 12 June 2012

Tagged , , , ,